Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Showing posts with label Cerpen. Show all posts

Saturday, February 1, 2025

Kotak Musik di Loteng

 

Di sebuah rumah tua di ujung jalan, ada loteng yang jarang dikunjungi. Loteng itu penuh dengan barang-barang usang: kursi kayu yang kakinya goyah, lukisan-lukisan yang sudah pudar, dan tumpukan koran yang menguning. Tapi di antara semua itu, ada satu benda yang selalu menarik perhatian Mia setiap kali ia naik ke loteng: sebuah kotak musik antik.

Kotak itu terbuat dari kayu mahoni, dengan ukiran bunga-bunga halus di bagian sampingnya. Mia menemukannya saat ia berusia sepuluh tahun, ketika ia sedang membantu neneknya membersihkan loteng. Neneknya bilang, kotak musik itu adalah peninggalan dari buyut Mia, tapi tak ada yang tahu lagu apa yang dimainkannya karena kotak itu sudah rusak.

Setiap kali Mia memutar tuasnya, hanya suara serak dan putus-putus yang keluar. Tapi Mia tak pernah menyerah. Ia percaya suatu hari nanti, kotak musik itu akan berbunyi lagi, dan ia akan tahu lagu apa yang tersembunyi di dalamnya.

Bertahun-tahun berlalu, Mia tumbuh dewasa. Neneknya sudah tiada, dan rumah tua itu kini menjadi miliknya. Suatu sore, saat hujan turun dengan deras, Mia memutuskan untuk kembali ke loteng. Ia membawa obor kecil karena lampu loteng sudah mati. Di antara debu dan keheningan, ia menemukan kotak musik itu lagi.

Kali ini, ia membawa obeng kecil. Dengan hati-hati, ia membuka bagian bawah kotak musik. Di dalamnya, ia menemukan gulungan kertas kecil yang ternyata adalah partitur lagu. Mia tak bisa membaca not balok, tapi ia tahu seseorang yang bisa: Pak Rudi, guru musiknya dulu.

Esok harinya, Mia pergi ke rumah Pak Rudi. Dengan bantuannya, mereka berhasil memecahkan kode partitur itu. Ternyata, lagu itu adalah lagu pengantar tidur yang sering dinyanyikan oleh buyut Mia. Pak Rudi membantu Mia memperbaiki kotak musik itu, dan akhirnya, setelah puluhan tahun, kotak musik itu berbunyi lagi.

Suara melodi yang keluar dari kotak musik itu lembut dan mengharukan. Mia merasa seperti buyutnya sedang berada di sampingnya, menyanyikan lagu itu untuknya. Ia tersenyum, merasakan kedamaian yang lama hilang.

Tapi tiba-tiba, sesuatu yang aneh terjadi. Saat lagu hampir berakhir, suara yang keluar dari kotak musik itu berubah. Alih-alih melodi indah, terdengar suara bisikan pelan yang mengucapkan, "Jangan percaya Pak Rudi."

Mia membeku. Ia memutar tuasnya lagi, dan bisikan itu kembali terdengar. Kali ini lebih jelas, "Dia bukanlah orang yang kamu kira."

Dengan hati berdebar, Mia memutuskan untuk menyelidiki. Ia pergi ke perpustakaan desa dan mencari arsip-arsip lama. Di sana, ia menemukan sebuah artikel koran tua yang mengungkapkan sesuatu yang mengejutkan: Pak Rudi, guru musiknya, ternyata terlibat dalam pencurian harta keluarga Mia puluhan tahun lalu. Buyut Mia pernah menyimpan harta berharga di dalam kotak musik itu, tapi Pak Rudi, yang saat itu adalah teman dekat keluarga, telah mencoba mencurinya.

Mia pun menyadari bahwa kotak musik itu bukan sekadar peninggalan biasa. Ia adalah peti harta yang disembunyikan buyutnya, dan lagu itu adalah kunci untuk membukanya. Dengan hati-hati, Mia membuka kotak musik itu sekali lagi dan menemukan sebuah kompartemen rahasia di bagian dasarnya. Di dalamnya, ada perhiasan antik dan surat dari buyutnya yang menjelaskan segalanya.

Pak Rudi, yang selama ini berpura-pura baik, ternyata masih mencari harta itu. Mia pun memutuskan untuk melaporkannya kepada pihak berwajib. Kotak musik itu, yang awalnya hanya benda usang, kini menjadi bukti kejahatan yang tersembunyi.

Sejak hari itu, Mia tak lagi melihat kotak musik sebagai sekadar benda antik. Ia adalah pengingat bahwa kadang-kadang, rahasia terbesar tersembunyi di tempat yang paling tidak terduga.

Wednesday, March 6, 2024

Cerpen: Pedang-pedangan

 "Ayah, kita beli pedang-pedangan yuk!" Kata Fikri

"Fikri mau pedang-pedangan? Mau yang seperti apa?" Ayah balik bertanya kepada Fikri.

"Mau yang ada sinar-sinarnya, seperti di film Star Wars. Lightsaber!" Jawab Fikri dengan semangat 45.

"Kalau Fikri mau pedang-pedangan, coba Fikri tabung uang dulu. Nanti kalau sudah terkumpul, baru kita beli. Kalau uangnya Fikri tidak cukup, biar ayah yang tambah." Jawab Ayah.

"Yah... Ayah gak asik. Minta beliin malah disuruh beli sendiri." Jawab Fikri kesal.

"Tabung saja dulu uang jajan Fikri ya, nanti ayah tambah kalau kurang." Ayah meyakinkan Fikri.

Dua minggu berlalu. Fikri terus mengumpulkan uang jajannya. Fikri mendapat uang jajan tiga ribu rupiah setiap hari saat pergi sekolah. Disekolah, dia tidak jajan, semua ditabung demi mendapatkan pedang baru.

Malam itu Fikri tidak bisa langsung tidur. Setelah belajar, dia mengkhayal sedang memainkan pedang barunya. Dia tunjukkan kepada teman-temannya. Beraksi layaknya jagoan yang ada di film. Saat sedang asik mengkhayal, terdengar bunyi suara beb beb beb dari token listrik. Ayah dan Ibu yang sedang diruang tengah segera membuka pintu rumah depan. Menekan salah satu tombol di papan meteran listrik. Bunyi beb itupun berhenti.

"Ayah, listrik dirumah kita harus segera diisi, jika tidak, besok kita tidak bisa menggunakannya."

"Iya ibu, tapi ayah belum ada uang sekarang. Mungkin besok kita baru dapat uang. Telor yang sudah ayah kumpulkan dari ternak ayam kita, belum cukup untuk dijual ke distributor." Jawab ayah kepada ibu.

Mendengar itu, Fikri keluar kamar. Dia keluar sambil memegang uang di tangannya.

"Ayah, ibu, ini uang untuk beli token. Pakai saja uang ini. Fikri bisa nabung lagi untuk beli pedang-pedangan."

"Tidak usah, nak. Ini uang kamu. Kamu sudah susah payah mengumpulkan uang ini untuk beli pedang-pedangan." Ayah menjawab.

"Tidak mengapa ayah, yang penting token kita terisi. Nanti susah jika tidak ada listrik."

Ibu Fikri memeluk anaknya. "Terimakasih ya nak. Kamu sudah dewasa." Ibu tersenyum melihat Fikri. Pun Fikri tersenyum melihat Ibu dan Ayahnya.

Keesokan harinya.

"Hore! Pedang baru! Terima kasih ayah.

"Iya, ayah juga terimakasih sama Fikri karena sudah mau kasih uang untuk beli token."

"Hore! Hore!" Fikri berlari keluar rumah. Tidak memperdulikan ucapan ayahnya.

"Habis semua telurnya, ayah?" Tanya ibu.

"Iya, bu. Mudah-mudahan selanjutnya juga begitu.

Friday, March 3, 2017

Cerpen: Kemalingan

Aku tinggal dirumah kontrakan temanku dalam waktu dua bulan. Dalam jangka waktu tersebut, hubungan kami sangat akrab. Kami tinggal dirumah tersebut berlima. Tiga orang yang bayar kontrakan, dan dua orang yang numpang. Ya, numpang. Maklumlah karena buat ngirit, dan mereka tidak keberatan, justru mereka senang.
Agus namanya, teman yang numpang itu. Dan kebetulan aku pulang kerja dan 12 malam. Seperti biasa kami berlima bercanda, bercerita sambil minum kopi dan main gitar. Hingga tak terasa jam sudah menunjukkan jam 3 dini hari. Kamipun tidur.
Jam 5 pagi aku sudah bangun karena harus sholat, ngaji hingga jam 6 pagi dan dilanjutkan tidur lagi.
Tidak terasa waktu sudah menunjukkan jam 1 siang, bahkan adzan dzuhur-pun tidak terdengar ditelinga. Disebelah hanya ada Agus, dia masih tidur pulas. Buru-buru bangun untuk sholat.
Betapa kagetnya waktu keluar dari kamar kondisi rumah sudah bersih. Bersih dari perabotan. Semua barang sudah lenyap dari rumah. Kaget dan panik.
Buru-buru aku bangunkan Agus.
"Gus, Agus...! Rumah kemalingan!"
Agus langsung bangun dan dilihatnya laptop dia, dan tidur lagi
Marah dengan tingkah Agus, aku seret dia agar bangun.
"Woi! Bangun! Kita kemalingan!
"Biarin" dengan santainya dia menjawab
"Kita kemalingan! Semua barang hilang!" Kataku lagi.
Dengan tenangnya dia menjawab "Iya kemalingan, barang-barangnya udah diangkat semua."
"Maksudnya?" Tanyaku dengan nada heran.
"Iya di maling sama teman-teman kita, mereka pindah.
"Pindah?"
"Iya pindah, mereka pindah"
"Jadi mereka pindah? Kita gak kemalingan?" Tanyaku lagi meyakinkan.
"Iya pindah, kita juga harus pindah. Nanti sore kita pindah" kata dia.
"Syukurlah, kirain kita kemalingan... hehehe.." lega....

Tuesday, April 30, 2013

Cerpen: Aku harus tahu namamu


Oleh: Mukti Sucipto
Gambar ilustrasi. Di dapat dari Google

Empat tahun yang lalu ada sebuah kisah tentang penghuni rumah di pinggir masjid tua. Di depan masjid itu ada dua pohon kelapa sawit yang sudah berumur kira-kira 15 tahun.
Cerita punya cerita, ada seorang perantau dari daerah yang jauh. Dia mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain. Saat itu dia tiba di desa kami pada menjelang magrib. Dia tidak ada tempat untuk tidur, jadi dia menumpang tidur di masjid itu. Atas izin dari pengurus masjid, akhirnya malam itu dia di izinkan tidur di masjid itu.
Saat jam 10 malam, rasa kantuk sudah hinggap di pelupuk matanya. Dan akhirnya di tidur terlelap. Kira-kira jam 2 dini hari, dia merasa kedinginan. Dia terbangun untuk mengambil selimut yang biasa dia bawa ke mana-mana. Tapi apa yang terjadi? Dia sudah tidak di dalam masjid lagi. Dia tidak mengenal tempat dia terbaring.
Otaknya langsung mengingat apa yang sebenarnya terjadi. Tapi dari ingatan yang dia dapat, dia tidur di dalam masjid.
Di tengah kebingungannya, dia mencoba berdiri dan ingin mencari tahu dimana dia berada. Dilihatnya seluruh ruangan hingga akhirnya dia melihat pintu keluar. Dibukanya pintu tersebut. Dia melihat ada sebuah masjid yang di depannya ada dua pohon kelapa sawit.
“Astagfirullah! Aku pindah tempat. Pasti ada yang jail. Siapa gerangan yang berani berbuat seperti ini?” ucapnya dalam hati.
Dia berjalan menuju ke arah masjid. Masuk ke dalam masjid itu. Rasa takut dan ingin tahu masih menyelimuti. Hingga tanpa disadari jam sudah menunjukkan pukul 4.30. Penjaga masjid sudah mulai bersiap-siap mengumandangkan azan.
Pagi harinya kira-kira pukul 7 pagi. Pengembara itu bertanya kepada penjaga masjid.
“Maaf, pak. Saya mau tanya” memulai percakapan.
“Iya, ada apa?” jawab penjaga masjid.
“Bapak tadi malam memindahkan saya ke rumah tua itu ya, pak?”
“Astagfirullah! Oh iya, Nak. Bapak lupa. Bapak belum menceritakan kisah ini”
“Kisah apa ya, Pak?”
“Begini” bapak penjaga mulai bercerita “ada kisah bahwa ada hubungan erat antara rumah itu dengan masjid ini. Jadi, setiap ada orang yang datang ke masjid ini dan tinggal atau menumpang tidur, harus memperkenalkan diri dulu kepada penjaga masjid. Jika tidak, maka akan terjadi hal seperti yang kamu alami. Bapak lupa tadi malam mau menanyakan nama kamu.”
“Oh iya, Pak. Saya juga lupa. Kita ternyata belum kenalan. Nama saya Ridho.”
“Baiklah Nak, Ridho. Maafkan bapak. Karena bapak, kamu jadi pindah ke rumah itu. Hingga sekarang belum tahu apa penyebab dan siapa yang memindahkan. Semua itu masih menjadi misteri.”
Misteri tentang pindahnya orang yang menginap di masjid masih menjadi misteri. Hingga akhirnya sekarang aku berada di rumah tua itu. Karena bapak penjaga tidak tahu namaku. Walau kami satu desa dan sering bertemu, tapi bapak penjaga sudah mulai pikun, sehingga susah untuk mengingat nama-nama orang.

Friday, April 19, 2013

Cerpen: Kelereng Panggang

Oleh Linda


Didi punya kelereng baru, oleh-oleh dari sahabat sebangkunya yang berlibur ke luar negeri. Bagi Didi, kelereng itu adalah kelereng terbagus di antara semua kelereng yang pernah dilihatnya. Warnanya biru bening seperti permata. Saking sayangnya pada kelereng itu, Didi tak pernah memainkannya. Kelereng itu disimpan di laci meja belajarnya. Dan hanya diambil sesekali bila ia ingin mengamati keindahan warnanya.

Didi mempunyai seorang adik laki-laki yang berumur lima tahun. Namanya Lodi. Lodi ingin sekali meminjam kelereng itu, namun tak pernah dikabulkan Didi. “Sst... anak kecil nggak boleh pegang kelereng ini. Nanti rusak!” jawab Didi setiap kali Lodi merengek.

Suatu sore, Didi sibuk mengerjakan PR IPA. Lodi masuk ke kamarnya dan mulai merengek ingin meminjam kelereng itu. Didi pura-pura tidak mendengar permintaan adiknya. Akibatnya, Lodi mulai menangis menjerit-jerit.

“Wah, gawat kalau terdengar Ibu!” gerutu Didi. Karena kehabisan akal, Didi akhirnya berkata, “Kamu boleh pinjam kalau kelerengnya sudah sudah matang. Sekarang masih mentah!”
Ternyata Lodi mempercayai ucapan kakaknya. Ia langsung berhenti menjerit-jerit. “Kapan matangnya, Kak?” tanya Lodi gembira.

Didi terkejut. Tak disangka adiknya mudah dikelabui. Akhirnya Didi melanjutkan cerita bohongnya, “Ayah dan Ibu tak boleh tahu soal kelereng ini! Sekarang sedang diperam di laci. Tak boleh dilihat! Nanti kalau sudah matang, warnanya akan lebih bagus. Sangat cemerlang, bersinar seperti lampu. Kalau sudah matang, Lodi boleh pinjam sepuas hati,” jelas Didi dengan wajah serius.

Beberapa Minggu berlalu, Lodi mulai tidak sabar. Pada suatu siang, saat Didi sedang sibuk menyiapkan buku kursusnya, Lodi masuk ke kamar Didi.

“Lodi ingin lihat kelerengnya, Kak. Kan, sudah lama sekali diperamnya,” gerutu Lodi dengan wajah cemberut.

“Kelerengnya masih belum matang! Kalau sedang diperam, tidak boleh dilihat! Lacinya tidak boleh dibuka!” tukas Didi cepat. Ia takut Lodi nekat megambil kelerengnya.

“Tapi kenapa lama sekali? Bagaimana caranya supaya cepat matang? Tanya Lodi heran.
Didi tidak mengindahkan pertanyaan adiknya. “Pokoknya kelerengnya itu masih mentah, belum bersinar seperti lampu. Sekarang kakak mau kursus dulu, takut terlambat,” kilahnya sambil bergegas keluar kamar.
Lodi merasa tidak puas karena pertanyaannya belum dijawab. Ia akhirnya mencari Ibu di dapur. Ibu sedang asyik menimbang berbagai   bahan untuk membuat kue.

“Asyik! Ibu mau buat kue apa? Lodi ikut, Bu,” seru Lodi gembira.
“Ibu mau buat kue kering Nastar. Nanti kalau semua bahan ini sudah digabungkan jadi satu adonan, Lodi bantu Ibu mengisinya dengan selai nanas, ya,” kata Ibu.

Lodi mengamati Ibu mengaduk tepung terigu, gula margarin, dan kuning telur. Setelah bahan-bahan itu tercampur rata, hasilnya berupa adonan liat berwarna kuning terang. Ibu mengambil adonan tersebut satu sendok makan, menaruh sedikit selai nanas di dalamnya, membentuk adonan seperti bola, kemudian meletakkannya di loyang.

Lodi meniru cara Ibu membentuk adonan. Ia berhasil membuatnya, walaupun sedikit benjol-benjol, tidak sebagus buatan ibu. Setelah membuat beberapa buah, ia mulai tergiur untuk mencicipinya. “Kelihatannya enak, Bu. Lodi boleh minta satu?” pinta Lodi.

“Tentu saja tidak boleh. Rasanya pasti tidak enak karena masih mentah. Supaya matang, harus dipanggang dulu di oven,” jawab ibu.

“Ooooh...jadi ini masih mentah. Supaya matang, harus dipanggang dulu di oven... Lodi mengerti sekarang!” Lodi mengangguk-angguk gembira dan langsung melesat pergi meninggalkan dapur.

Lodi masuk ke kamar Didi. Ia mengambil kelereng Didi dari dalam laci meja belajar. Diamatinya kelereng itu penuh kekaguman. “Warnanya bagus sekali. Seperti apa ya warnanya kalau sudah dipanggang? Pasti Kak Didi senang kalau Lodi bantu supaya kelereng ini cepat matang,” kata Lodi di dalam hati.
Lodi lalu balik ke dapur dan kembali membentuk adonan menjadi bola-bola. Tanpa sepengetahuan ibu, Lodi memasukkan kelereng Didi pada satu bola.

Ketika Didi pulang dari kursus Inggris, Lodi berlari-lari menyambutnya dengan ceria. “Kak, Lodi tadi bantu ibu buat kue Nastar. Tadi ada satu kue yang tidak di isi dengan selai nanas. Lodi isi dengan kelereng Kakak yang bagus itu. Ikut dipanggang supaya cepat matang,” cerita Lodi dengan bangga.

Didi sangat terkejut. Ia melempar tasnya sembarangan lalu berlari menuju dapur. Harum kue kering Nastar menyambutnya. Dilihatnya Ibu sedang mengeluarkan dua buah loyang dari oven.
“Mana kue buatan Lodi?” teriak Didi dengan wajah pucat pasi.
“Ini. Baru matang, masih hangat. Ada apa, Didi?” tanya ibu heran sambil menunjuk sebuah loyang berisi belasan kue kering Nastar yang bentuknya benjol-benjol.

“Dimana kamu?” keluh Didi lemas. Ia kebingungan, tak tahu di dalam kue yang mana kelerengnya “bersembunyi”. Sesaat kemudian diambilnya sebuah sendok. “Aduh, gara-gara berbohong, akibatnya begini. Pasti rusak. Pasti warnanya jadi jelek. Dimana kamu?” keluhnya berulang-ulang sambil memukuli kue kering buatan Lodi satu persatu sampai hancur. Didi menyesal sekali telah berbohong. Sementara itu, ibu dan Lodi tercengang keheranan melihat tingkah Didi...

Saturday, April 13, 2013

Cerpen: Rahasis Bung Jabrik

Oleh Dr. Lina Suwiyar


Kampungku kedatangan penghuni baru. Seorang laki-laki tua berpenampilan aneh dan bertingkah laku aneh pula. Laki-laki itu menyebut dirinya Bung, bukan Pak, Mas atau Bang. Anak-anak sering mengganggu, mereka memberi julukan Bung Jabrik karena rambutnya panjang dan tidak teratur. Agaknya Bung Jabrik kurang waras, sering berbicara dan tertawa sendiri. Bung Jabrik tinggal di gubuk tua di tepi sungai.

Pagi itu para guru mengadakan rapat, murid-murid diperbolehkan pulang lebih cepat. Masih dengan seragam merah putih, aku, Yuni, Esi dan A Seng berkumpul di warung lontong Yu Marni. Bonang belum datang.

“Belakangan ini kampung kita banyak terjadi pencurian,” A Seng membuka cerita. “Pak Ujang, Pak Beni saudagar sapi, Paman Munir telah menjadi korban. Para pencuri berhasil dengan gemilang. Mereka profesional.”

“Mereka?” aku tertarik.
A Seng angkat bahu, “Aku hanya menduga. Sebab kerjanya sangat rapi dan hampir tak meninggalkan jejak.”
“Puh! Kayak detektif Ana lagakmu,” comooh Esi.
Kami tertawa. “Lihat, itu bonang!”
Bonang mengempit bungkusan. Sakunya penuh buah mata kucing, ia membagi masing-masing segenggam.
“Apa itu?”
“Nasi Urap dan sepotong ikan asin?”
“Untuk siapa, Nang?” tanyaku lagi.
“Rahasia,” Bonang nyengir.
“A Seng mau mengalahkan Kapten Jono menangkap pencuri yang menjarah desa kita,” lapor Yuni.
“Boleh juga,” kata Bonang serius,” siapa tahu kita dapat membantu.”

Kami mengatur kursi agar bisa duduk satu meja. Yu Marni menyediakan pisang goreng dan teh.
A Seng menyilakan, “Aku yang bayar. Om Liem memberi uang lebih tadi.”
“Mari kita kumpulkan data pencurian dari ketiga korban. Ada yang mencurigakan? Tari, coba dicatat!”
“Kedai Pak Ujang. Beliau tinggal sendiri. Pencurian terjadi saat ia pergi kenduri. Jendela dan pintu tidak ada kerusakan. Pekerjaan yang sangat rapi. Rumah Pak Beni, pencuri masuk tengah malam. Malam itu Pak Beni baru menerima uang hasil penjualan sawahnya. Yang hilang uang, perhiasan, dan benda kecil berharga lainnya. Sedangkan TV, radio, VCD tidak diambil.”
“Terakhir Paman Munir,” lanjut Bonang,” terjadi dua Minggu kemudian. Beliau baru meminjam uang dari KUD, malamnya uang dan arloji emas raib dengan cara yang sama.”

“Kukira pelakunya orang yang sama,” cetus Yuni.
“Mungkin juga tidak,” bentak A Seng. “Bisa orang dalam, tetangga, atau orang lain yang meniru ulah pencuri pertama.”
“Pusiiiiing...” keluh Esi.
“Mari kita simpulkan dari ketiga kasus itu,” Bonang berpikir, “Terjadi malam hari, pencuri masuk dengan mudah, uang dan benda kecil berharga saja yang diambil...”
“Si pencuri tahu persis bahwa tuan rumah baru mendapatkan uang banyak,” potongku bersemangat, “kemungkinan pelakunya satu orang, kalau tidak mengapa mereka tidak mengambil TV, radio, VCD dan lain-lain. Setelah itu aku merasa si pencuri orang desa ini juga, yang tahu kapan harus beraksi dan siapa korbannya.”

“Bagus, Tari,” puji Bonang. “Kurasa hari ini sudah cukup bagi kita untuk berpikir. Ayo, ikut aku!”
Kami jalan beriringan, Bonang terdepan. “Nang, ngapain ke sungai?” Bonang terus berjalan menuju ke sebuah gubuk. Bung Jabrik sedang merokok dengan santai. Bajunya kumal dan rambutnya acak-acakan.
“Nang, takut!” Esi menarik tangan Bonang.
“Ssst, tidak apa-apa. Dulu Bung Jabrik seorang pejuang, tetapi dikhianati temannya sendiri sehingga ia ditawan dan disiksa oleh musuh,” jelas Bonang.
“Bung, ini aku bonang. Aku bawakan nasi urap kesukaan Bung!”
Bung Jabrik mendongak, “Aku sibuk. Pergi! Jangan dekati rumahku!”
“Jangan begitu, Bung. Kita sama-sama pejuang, bukan?” bujuk Bonang.
“Hmmm,” Bung Jabrik melunak, “lihat geretan ini, pemberian Komandan atas jasa-jasaku.”
“Bagus,” puji Bonang. Masih baru, sambungnya dalam hati. “Siapa nama Komandan Bung itu?”
“Hus!” Bung Jabrik marah, “tidak boleh bocorkan rahasia. Ditembak kamu nanti, Dor! Dor! Kamu tidak setia ya sama Komandan. Pergi! Pergi!”

Kami berlari ketakutan. A Seng sampai pipis di celana.
Dua hari ini Bonang tidak banyak bicara. Kami mengira ia sudah kapok bertemu dengan Bung Jabrik. Ternyata kami salah.
“A Seng, belikan dua bungkus rokok!” perintah Bonang, A Seng patuh tanpa banyak tanya. “Dengar, kita berkesimpulan bahwa pelaku pencurian tinggal di desa ini, tapi ke mana harta hasil curiannya? Polisi telah menggeledah rumah-rumah yang dicurigai. Tiba-tiba aku ada ide, rumah siapa yang paling tidak mungkin dicurigai?”
“Rumah Pak Lurah,” tebak Esi.

“Jawabannya adalah gubuk Bung Jabrik. Ingat, Bung Jabrik tiba-tiba mendapat rokok dan geretan bagus. Dari mana? Ia melarang kita masuk ke gubuknya. Siapa Komandan yang dimaksud oleh Bung Jabrik?”
Berlima kami menuju ke sungai. Tidak susah membujuk Bung Jabrik dengan dua bungkus rokok. “Dari Komandan, beliau pesan aku harus memeriksa.”
Bung Jabrik tampak senang, “Mari kutunjukkan harta perampasan perang Komandan.” Ia membongkar tumpukan jerami di sudut gubuk dan mengambil sebuah kaleng bekas roti. Bonang merebut dan membukanya, “Uang, perhiasan, dan ini arloji emas Paman Munir.”
Bonang merangkul Bung Jabrik, “Bung, ternyata Komandan berkhianat. Ini harta negara, bung. Akan aku bawa dan kembalikan pada negara. Kejar dan tangkap Komandan pengkhianat itu!”
“Siap, Jenderal!” tegas Bung Jabrik sambil memberi hormat.
Di rumah Pak Lurah telah ramai. Bung Jabrik mengikat erat sang Komandan, yang dikenal sebagai Pak Carik. Bagaimana metode si pencuri?

Bonang tersenyum, “Pak Ujang masih ingat malam sebelum berangkat kenduri, Pak Carik datang memberi rokok, geretan, dan sabun. Buat apa beli sabun pada malam hari? Untuk mencetak kunci. Aku sudah mengecek, tukang kunci, yang cocok dengan pintu rumah Pak Ujang, Pak Beni, dan Paman Munir.”
Pak Lurah dan hadirin bertepuk tangan. *****

Friday, April 5, 2013

Cerpen: Pulanglah, Sayang!

Oleh Glory Gracia Christabelle

Jimmy sangat kesal hari ini. Ia dimarahi ibunya karena  pulang terlambat dengan baju kotor. Memang ia bersalah namun ia tak mau disalahkan. “Ibu sudah tak mencintaiku lagi,”gerutunya dalam hati. Akhirnya malam itu dengan diam-diam Jimmy memutuskan kabur dari rumah. Ia pergi dengan membawa uang tabungan miliknya, sepasang pakaian, sebotol air, dan sekantong kue. Ia lari dari rumahnya. Ia pergi ke kota lain di mana tak seorang pun mengenalnya.

Jimmy pergi dengan berjalan kaki. Kadang-kadang ia menumpang gerobak petani yang kebetulan lewat dengan diam-diam. Ia memakan buah liar dan minum air sungai untuk menghemat perbekalan. Akhirnya Jimmy sampai di sebuah kota yang ramai. Perbekalan sudah habis. Ia terpaksa membeli makanan dengan uang yang dimiliki. Harga makanan di kota cukup mahal. Sebentar saja uang Jimmy sudah habis. Dengan perut lapar ia tidur di depan emperan toko.

Hari ini adalah hari kedua Jimmy tidak makan. Perutnya amat lapar. Tak seorang pun yang berniat menolongnya. Dengan terseok-seok ia berjalan. Tiba-tiba ia melihat sebuah kerumunan yang amat ramai. Di sana banyak orang bertepuk tangan dan berdecak kagum. Dengan penuh rasa ingin tahu, Jimmy menyeruak ke dalam kerumunan itu. Ternyata seorang pesulap jalanan sedang beraksi. Dengan lincah sang pesulap dapat menghilangkan benda dan memunculkan benda dengan ajaib. Jimmy begitu terpesona. Pertunjukan itu cepat selesai. Para penonton bertepuk tangan puas sambil memberikan uang receh. Sebentar saja kerumunan itu bubar. Namun Jimmy masih diam terpaku memandangi sang pesulap.

Sambil tersenyum penuh arti, si pesulap bertanya, “Ada apa, Nak? Apakah atraksiku menarik?” Jimmy memandang si pesulap. “Ya, betul-betul mengagumkan,” kata Jimmy penuh semangat. Tampaknya perutnya pun ikut bersemangat. Tiba-tiba perutnya berbunyi keras sekali. Mendengar itu si pesulap tertawa kecil. “Kau belum makan? Ayo ikut aku! Hari ini pertunjukanku berhasil baik. Aku akan mengajakmu makan kalau kau mau,” kata si pesulap sambil membereskan peralatan sulapnya. Jimmy sangat  senang. Ia mengangguk dan mengikuti si pesulap.

Selesai makan, si pesulap bertanya. “Aku Ian si pesulap. Siapa namamu?” Sambil mengelap mulutnya Jimmy menjawab. “Jimmy, tuan. Izinkanlah aku belajar sulap dari tuan. Aku tak akan menyusahkan. Aku akan membantu tuan mencari uang,” kata Jimmy penuh harap. Ian si pesulap tersenyum mendengarkannya. “Baiklah. Kau boleh ikut.”

Sejak saat itu Jimmy ikut dengan pesulap itu. Mereka mengadakan atraksi di beberapa kota. Jimmy cepat belajar. Sebentar saja ia sudah dapat melakukan berbagai atraksi sederhana. Setiap kali selesai mengadakan atraksi, Jimmy mendapatkan sedikit uang saku. Sisanya dipakai untuk makan, menginap dan lainnya.
Jimmy mengumpulkan uang sakunya yang sedikit. Lama-lama uangnya terkumpul. Cukup untuk perjalanan pulang. Kadang-kadang Jimmy termenung. Ia mulai merindukan ibunya. Ia merindukan rumahnya, teman-temannya, dan padang rumput tempat biasa ia bermain. Kadang-kadang tanpa disadari air matanya mengalir. Namun ia terlalu gengsi untuk mengakui hal itu Ian si pesulap seperti dapat membaca isi hari Jimmy. Sambil tersenyum ia mendekati Jimmy yang sedang resah itu.

“Jimmy! Tidakkah kau rindu akan tempat asalmu? Rumah, padang rumput, teman bermain, dan ibumu. Aku tahu kalau kau bukan anak jalanan biasa. Kau punya rumah, punya ibu, punya kehidupan indah. Aku dapat membacanya dari raut wajahmu. Bukankah kau sudah cukup puas bermain jauh dari rumah. Sudah saatnya kau kembali. Kau sudah merindukannya, bukan? Ibumu juga sudah sangat merindukanmu,” kata Ian dengan lembut. “Tidak mungkin!!! Ibu tak akan merindukanku! Ia jahat aku selalu dimarahinya. Memang aku bersalah. Tapi ia tak perlu memarahiku seperti itu. Ia tak mencintaiku. Pasti ia bersyukur atas kepergianku. Aku akan kena hukum kalau aku pulang. Aku tidak mau pulang! Aku benci padanya! Jangan pulangkan aku. Biarkan aku ikut denganmu saja! Kumohon!” teriak Jimmy sambil menangis.
“Baiklah, Jimmy kalau itu maumu. Tapi sebelum kau betul-betul memantapkan keinginanmu, kuminta lihatlah sebuah sulap spesialku ini,” kata Ian sambil tersenyum misterius.

Ia mengeluarkan sebuah alat pembuat gelembung dan sekotak air sabun. Dengan benda itu, ia membuat gelembung-gelembung sabun. Satu persatu gelembung itu membesar dan naik ke angkasa. Tiba-tiba dalam gelembung pertama terdapat bayangan, Jimmy penasaran sekali. Ian si pesulap kemudian menggandeng Jimmy. Kemudian mereka melompat masuk. Di dalamnya terlihat peristiwa di masa lalu. Jimmy melihat dirinya bermain sampai larut. Ia juga melanggar pesan ibunya untuk tidak bermain di rawa. Ia melihat perasaannya ketika bermain dan dimarahi oleh sang ibu. Kemudian Jimmy dan si pesulap melompat ke dalam gelembung kedua. Di dalamnya terlihat ibunya tengah menyiapkan kue dan makanan kesukaan Jimmy. Semua masakan itu masih hangat jika Jimmy pulang tepat waktu. Namun waktu berlalu. Sang ibu dengan penuh cemas menunggu di rumah. Setelah tahu anaknya pulang dari rawa, ia amat kesal. Namun ia sangat sedih ketika anaknya mengabaikan perasaan cemasnya. Diam-diam sang ibu menangis.

Jimmy dan Ian pesulap melompat ke gelembung ketiga. Di dalamnya Jimmy melihat ibunya ketika ditinggal pergi olehnya. Ibunya dengan cemas mencari ke sana kemari. Ia menunggu Jimmy pulang. Namun tak ada kabar yang datang. Anaknya tak pernah pulang. Semakin hari ibunya semakin kurus dan pucat. Setiap hari sang ibu menangis. Ia selalu membuat makanan kesukaan anaknya setiap hari dan duduk di teras menunggu kepulangannya. Sampai suatu hari ia sakit. Namun tak ada yang tahu bahwa ia sakit. Dalam penantiannya ia meninggal. Meninggal sendirian.
“Cukup! Hentikan permainan sulapmu, Tuan Ian! Ini terlalu menyedihkan,” kata Jimmy terisak-isak. “Tapi ini adalah kenyataan. Yang akan kau lihat akan menjadi kenyataan jika kau tidak pulang. Semua pilihan ada di tanganmu, Nak! Pikirkanlah baik-baik,” jawab Ian si pesulap sambil mengelus rambut Jimmy. Malam itu Jimmy berpikir keras. Lama ia menimbang, akhirnya ia memutuskan. Esok paginya ia menemui si pesulap. “Aku akan pulang, Tuan Ian. Maukah kau mengantarku pulang?” mendengar itu Ian pesulap tersenyum, “Tentu!”

Kemudian ia mengayunkan tongkat sulapnya. Di depannya muncullah sebuah jalan bersinar. “Lewat sini,” kata Ian sambil menggandeng Jimmy melalui jalan bersinar itu. Tiba-tiba mereka sudah sampai di depan rumah Jimmy. “Hampirilah ibumu. Aku mengembalikanmu pada hari saat kau pertama kali bertemu denganku,” kata si pesulap. Jimmy berlari.

“Siapa kau sebenarnya? Teriak Jimmy.
“Ian si pesulap. Sampai jumpa Jimmy.” Kemudian Ian si pesulap menghilang. Jimmy memeluk ibunya. “Maafkan aku, Bu,” bisiknya sambil menangis. Ibunya menangis. Mereka masuk rumah dan makan makanan kesukaan Jimmy. Jimmy tak pernah melupakan pertemuannya dengan Ian si pesulap misterius. “Selamat berbahagia, Jimmy,” bisik Ian si pesulap. Lalu ia menghilang meninggalkan taburan debu bercahaya. ****

Sunday, March 3, 2013

Cerpen: Gajah Afrika dan Gajah India

Oleh: Endang Firdaus

Abu tinggal tak jauh dari kebun binatang. Jaraknya kira-kira hanya lima ratus meter. Hari Minggu lalu Abu pergi ke kebun binatang itu. Saat Abu telah berada di dalam, ternyata ada keributan di situ. Para pekerja kebun binatang berlarian panik. Wajah-wajah mereka tegang. Cepat Abu bertanya ada apa pada seorang pekerja. Katanya dua ekor anak gajah lepas dari kandang.
"Mengapa cemas cuma karena hal itu?" tukas Abu heran. "Apakah selama ini kebun binatang ini belum pernah mengeluarkan anak-anak gajah dari kandang?"
Pekerja itu tersenyum ramah. Ucapnya, "Beberapa waktu lalu kami mendapat kiriman dua ekor gajah betina. Satu gajah Afrika kami beri nama Bona, dan gajah India Malina. Kedua induk gajah tak pernah akur. Tapi anak-anak mereka saling berteman. Anak-anak gajah itu kini lepas dari kandang masing-masing. Lihat di sana. Keduanya asyik bersama."
"Lalu yang membuat cemas?" tanya Abu.
Pekerja itu bercerita. Katanya, "Kedua anak gajah itu sangat serupa. Yang membedakan mereka adalah kalung-kalung yang mereka kenakan. Kini kalung-kalung itu telah lepas dari leher-leher mereka. Sekarang kami tak tahu yang mana anak gajah India. Bila kami salah menyatukan kedua anak gajah itu dengan induk masing-masing, akan bahaya. Si induk yang tahu kalau yang bersamanya bukanlah anaknya pasti akan membunuhnya. Itulah yang kami cemaskan. Coba dengar, induk-induk gajah itu bersuara keras memanggil-manggil anak mereka masing-masing."
Abu tercenung. Lalu ia melangkah mendatangi kedua anak gajah. Diperhatikannya gajah-gajah kecil itu. Senyum lalu menyungging di bibirnya. Abu menemukan bagaimana cara mengatasi itu. Ucapnya, Saya tahu bagaimana menghentikan kecemasan bapak-bapak semua."
"Benarkah?"
"Apa hadiah untuk saya?"
"Akan kami penuhi apapun yang kau mau."
Abu lalu mengajak pekerja itu menghampiri anak-anak gajah.
Katanya pada si Pekerja, "Perhatikanlah kuku-kuku mereka."
"Apa anehnya?"
"Gajah Afrika memiliki empat kuku pada kaki depannya dan tiga kuku pada kaki belakangnya. Sedang gajah India memiliki lima kuku pada kaki depannya dan empat kuku pada kaki belakangnya. Periksalah. Setelah itu samakan dengan induk masing-masing."
Pekerja itu terbelalak mendengar penjelasan itu. Dihampirinya anak-anak gajah. Diperhatikannya kuku-kuku mereka. Ternyata kaki depan seekor anak gajah berkuku empat dan kaki belakangnya berkuku tiga. Anak gajah yang lain, memiliki lima kuku pada kaki depannya dan empat kuku pada kaki belakangnya.
Pekerja itu kemudian pergi ke induk gajah Afrika.
Diperhatikannya kuku-kukunya. Kaki depan berkuku empat, kaki belakang berkuku tiga. Ia lalu ke induk gajah India. Kaki depan gajah itu berkuku lima dan kaki belakangnya berkuku empat. Si perkerja tersenyum lega. "Kau benar, Nak." katanya pada Abu. Pekerja itu lalu memakaikan kalung-kalung yang berbeda ke leher masing-masing anak gajah. Kalung bertali merah untuk anak gajah Afrika. Kalung bertali kuning untuk gajah India. "Kau tahu dari mana mengenai ciri-ciri gajah-gajah itu, Nak? tanyanya kemudian pada Abu.
"Dari buku tentang gajah yang pernah saya baca, Pak," sahut Abu.
Si pekerja mengangguk-angguk.
"Mana hadiah untuk saya?" tanya Abu.
"Tunggulah di sini. Akan bapak ambil."
"Jangan, Pak," cegah Abu.
"Saya tidak mau hadiah apa-apa. Tadi cuma becanda. Oya, Pak. Perhatikanlah sekali lagi gajah-gajah itu. Bapak akan menemukan gajah Afrika mempunyai dua buah tonjolan pada belalainya dan gajah India hanya mempunyai sebuah."
Pekerja itu memperhatikan belalai-belalai gajah-gajah itu. Lalu mengangguk-angguk. Katanya, "Benar, Nak. Terima kasih ya atas bantuannya. Untuk anak hebat sepertimu ada hadiah khusus buatmu. Bagaimana kalau kau berkeliling kebun binatang ini dengan naik gajah? Kau mau?"
"Wow, menyenangkan sekali! Tentu saja saya mau," seru Abu sangat senang. Ditemani pekerja itu Abu lalu berkeliling kebun binatang naik gajah. Oh, Asyiknya!***

Saturday, February 16, 2013

Cerpen: Hantu yang Memalingkan Muka

oleh: Kadir Wong

Tsao adalah seorang cendikiawan muda. Kegemarannya berpetualang. Keluar masuk desa mengumpulkan berbagai kisah mengenai hantu. Cerita-cerita itu dihimpun menjadi sebuah buku. Rencananya akan ia beri judul: Hantu Tidak Perlu Ditakuti.
Pada suatu hari, tibalah ia di sebuah desa. Hari sudah gelap ketika ia tiba di rumah seorang guru. Guru tu sahabat ayahnya, dan pernah mengajar saat ia duduk di bangku Sekolah Dasar.
Sang guru minta Tsao agar bermalam di rumahnya. "Terima kasih atas kebaikan hati guru..." ujar Tsao gembira. Oleh sang guru Tsao diberi tempat di kamar anak lelakinya, yang ketika itu sedang kosong. Si anak sedang menuntut ilmu di kota lain.
Namun tanpa diduga, malam harinya si anak datang dan meminta agar kamarnya tidak dipakai orang. Anak lelaki guru itu sedikit kurang ajar, dan keras kepala. Ayahnya berusaha memberi pengertian, "Dia itu Tsao, Nak. Muridku dulu. Dia adalah putera sahabat karibku. Dia cuma ingin menumpang tidur. Tak lebih dari semalam. Ia tidak akan merepotkanmu. Dan bukankah ia sebaya denganmu..."
Tetapi anak lelaki itu tidak mau tahu. "Sepertinya aku tak akan cocok dengannya, Ayah. Dan lagi apa yang harus kuobrolkan dengan anak seperti dia," ujar anak guru itu ketus.
Ayah tidak bisa berbuat apa-apa. Tsao akhirnya diminta untuk pindah ke sebuah kamar lain. Kamar itu nampak baru. Melihat Tsao memasuki kamar itu, anak lelaki si guru mesam-mesem penuh arti. Merasa menang, atau barang kali ada alasan lain?
Ruangan itu bersih dan rapi. Sepertinya jarang sekali di pakai. Diatas sebuah meja rendah terdapat berbagai macam kuas, tempat tinta hitam, buku-buku, dan tumpukan kertas. Ruangan itu nampaknya kamar kerja pemilik rumah.
Tsao duduk di belakang meja. Guru itu berkata ramah, "Anggap saja ini rumah sendiri, Tsao. Dan kalau ada apa-apa, jangan segan-segan membangunkan kami. Nah, selamat malam..." setelah itu ditutupnya pintu geser.
Diterangi lampu duduk, Tsao menulis sepucuk surat ke rumah. Asyik benar ia terbuai kalimat demi kalimat. Tanpa disadari ada bau aneh di kamar itu. Waktu ia menoleh, di dekat lampu nampak sosok seorang wanita. Wajahnya cukup menarik. Wanita itu tersenyum ke arahnya.
Tsao melirik ke pintu. Tetap tertutup. Saking asyiknya menulis, tak terasa malam sudah larut. Sadarlah Tsao, bahwa wanita di depannya itu adalah hantu. Tapi Tsao sama sekali tidak takut. Justru pengalaman seperti itulah yang sedang dicarinya. Ia ingin tahu.
Hantu itu mengamati apa yang sedang dilakukan Tsao. Tsao balas memandang, cetusnya, "Dari pada kau duduk bengong, ayo lakukan sesuatu. Merapikan sumbu lampu, misalnya, agar nyalanya jernih dan rata."
Wanita itu nampaknya kesal. Ia justru menghembus nyala lampu sampai padam, lalu menghampiri Tsao. Tsao berdiri menyongsong. Kesal sekali keasyikannya menulis diganggu. Diam-diam dicelupkan jari-jarinya ke tinta, lalu dengan gerakan cepat dan tak terduga diolesnya kedua pipi hantu wanita itu. Katanya, "Kau akan dikenali orang lewat noda tinta pada kedua pipimu!"
Hantu wanita itu amat terkejut dan menjadi takut. Sambil menutup kedua pipinya dengan telapak tangan, larilah ia tunggang langgang menembus pintu. Lenyap entah kemana. Yang terdengar oleh Tsao hanyalah suara lengking yang tajam dan memilikan hati.
Esok harinya, Tsao mengisahkan pengalamannya kepa tuan rumah. Sang guru mengaku bahwa kamar yang ditempati Tsao itu dihuni hantu. "Ada seorang pembantu rumah tangga yang tewas misterius di kamar itu. Jadi, kami hanya menggunakannya di siang hari, untuk ruang kerja, atau menjamu tamu. Ngomong-ngomong, kau tak diapa-apakannya, kan?"

Tsao kini mengerti mengapa anak lelaki tuan rumah yang bandel tersenyum-senyum saat ia memasuki ruangan tersebut.
Hantu pembantu rumah tangga yang tewas misterius itu masih sering menampakkan diri. Tapi setiap kali bertemu orang ia akan memalingkan muka, menutupi kedua pipi dengan telapak tangan, dan menyingkir. Seorang yang pernah memergokinya berkata, kedua pipi hantu itu ternoda olesan tinta.

Tuesday, January 29, 2013

Cerpen: Kacamata Bima

Oleh: Didit Setyo Nugroho

Setiap kali memandang papan tulis, Ngadi selalu gelisah. Kedua matanya tidak berfungsi untuk jarak lebih dari dua meter. Ia akan melihat kearahku dan aku memberikan padanya apa yang baru kusalin dari papan tulis. Bu Asri, wali kelas kami, sudah mengizinkan Ngadi untuk mendengar saja. Setahuku Ngadi dulu pernah punya kacamata. Tetapi pecah saat bermain dengan Wahyudi dan sampai sekarang belum memiliki gantinya. Keluarga Ngadi memang hidup pas-pasan. Bapaknya seorang tukang batu. Ibunya menjual sayur dari rumah ke rumah di sepanjang bukit-bukit padas.
Karena gangguan matanya, Ngadi tidak dapat membedakan wajah orang didepannya dengan jelas. Seringkali ibu guru yang bertubuh kecil dianggap sebagai temannya. Itu membuatku merasa geli namun juga sedih.
Apabila malam tiba, aku sering membayangkan kehidupan Ngadi. Di bawah temaram lampu minyak ia mengeja huruf dalam dingin rumah bambu. Aku ingin menolong Ngadi. Tetapi aku juga tidak mau merepotkan orang lain. Apalagi ayahku sekarang tidak ada di rumah. Lama aku merenung. Tiba-tiba mataku tertumpuk pada sisa selembar kulit. Selembar kulit bahan wayang yang masih mentah.
"Ah, aku kan bisa menatah!" gumamku pada diri sendiri. Sejak Sekolah Dasar, 'membuat wayang' menjadi pelajaran tambahan yang wajib di daerahku. Tetapi hanya beberapa orang yang menekuninya sebagai pengrajin. Dulu ayahku juga pernah menjadi penatah wayang. Tetapi karena penghasilannya sedikit, Ayah nekat merantau ke Jakarta mengikuti Pak Nasir yang telah jadi kontraktor sukses. Sejak itu setiap bulan Ayah dapat mengirimiku uang sampai saat ini.
Karena pernah mengalami kehidupan miskin, aku bisa merasakan derita Ngadi.
Kulit kerbau warna cokelat itu mulai kuraba. Aku mulai memilih tokoh wayang yang akan aku buat. Akhirnya kuputuskan untuk membuat tokoh Bima.
Aku mulai memindahkan pola di atas kulit. Aku mulai menatah satu per satu ornamen yang ada pada tokoh Bima. Aku juga mencoba memasukkan jiwa ke dalamnya seperti yang pernah diajarkan ayahku dulu. Hari ketiga aku sudah mencampur cat poster. Lalu menggoreskan gradasi warna dengan hati-hati.
Setelah tujuh hari, dengan tangan kecil dan keringatku, Bima pun berdiri tegak gagah di hadapanku. Tinggal memasang penyu di rumah Pak Taru langganan Ayahku dulu. Oh ya Pak Taru adalah petugas koperasi yang menyediakan peralatan pembuatan wayang di desaku.
Pagi-pagi sekali aku membawa Bima yang telah kubungkus rapi menghadap Kepala Sekolah. Satu-satunya harapanku untuk menolong Ngadi. Sebab beliau selalu menekankan untuk tolong menolong antar sesama. Bapak Kepala Sekolah menatapku, mukanya ramah kebapakan.
"Ada apa Budi," sapa beliau. Aku sempat heran bagaimana beliau tahu namaku. Tetapi ketika kuikuti arah pandangannya aku jadi mengerti. Aku gembira seperti kehilangan kata-kata dihadapan beliau. Aku mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan pikiranku. Bapak Kepala Sekolah menanti dengan penuh kesabaran.
"Bapak pernah bercerita kalau Bima itu tokoh simbol kebaikan. Juga memiliki sikap yang baik seorang murid terhadap gurunya."
"Iya, Bapak ingat betul itu amanat pertama Bapak saat diangkat menjadi Kepala Sekolah disini," beliau meyakinkan. Aku mengambil napas lega.
"Sebelumnya mohon maaf. Saya tidak tahu apakah langkah saya ini baik atau buruk," ujarku mulai lancar bercerita. Bapak Kepala Sekolah menatapku, dengan serius memperhatikan ucapanku. "Apakah Bapak mau membeli Bima yang saya buat dengan tangan dan keringat saya sendiri?" tanyaku penuh harap. Bapak Kepala sekolah masih menatapku dengan senyum yang khas.
"Coba perlihatkan."
Aku mengeluarkan tokoh Bima dari kantong kain dan menyerahkan kepada beliau. Bapak Kepala Sekolah menimang Bima di tangan kanannya sedangkan tangan kirinya memainkan tangan Bima. Beliau tersenyum puas.
"Untuk apa uangnya nanti?" tanya beliau.
"Untuk membeli kacamata," sahutku mantap.
"Kacamata untuk siapa?" tanya beliau lagi.
"Untuk teman saya, Ngadi," jawabku.
Lalu tanpa diminta aku menceritakan keadaan Ngadi. Dahi beliau tampak berkerut kemudian mengangguk dan tersenyum puas. Beliau menepuk pundakku dan berucap, "Kamu pantas untuk jadi Bima!" Hatiku seperti dilambungkan pada tempat yang jauh.
"Tolong kamu panggil Ngadi kemari," perintahnya. Aku bergegas memanggilnya.
Setelah memberi beberapa pesan kepada Bapak Wakil Kepala Sekolah, beliau mengajak Ngadi dan memilihkan kacamata yang cocok untuknya. Bapak Kepala Sekolah mengambil uang dari sakunya.
Begitu Ngadi memakai kacamata wajahnya kelihatan cerah.
"Terima kasih Pak, saya bisa melihat lagi," ucap Ngadi tulus. Matanya berkaca-kaca dari balik kacamata baru yang dipakainya.
Bapak Kepala Sekolah juga tersenyum puas.
"Berterimakasihlah pada Bima. Itu hadiah dari dia."
"Bima siapa?" tanya Ngadi bingung.
"Bima Werkudara," jawabku kalem.
Matahari mulai meninggi tetapi begitu indah di mata Ngadi. *****

Sunday, December 16, 2012

Cerpen: Rencana Allah itu Indah

Oleh Ana C'laluceria Sanchia

Semuanya terasa begitu singkat, dan teramat cepat, seakan waktu tak lelah bergulir. Hari ini empat tahun sudah kusendiri tanpamu. Rindu, sudah tak terungkap lagi, namun kutegarkan hatiku, ku kuatkan langkahku. Aku Pulang. "I come home, I come home", teriak hatiku yang tak dapat kutahan. Aku berjaji akan kembali usai wisuda pada kekasih tercinta, semoga tak lelah ia menungguku disana. Miss you Honey.
Begitu sampai di Jakarta, aku sempatkan untuk memberitahuya bahwa aku telah tiba di Indonesia dengan harapan yang besar ia menantiku di bandara, akan ku peluk ia, akan kugenggam tangannya dan takkan kulepas. Sembari menunggu pesawat di translate, akupun terus berbalas pesan dengannya tak sabar rasa hati ini ingin segera bertemu melepas rindu, iapun berjaji menantiku dibandara. Dengan senyum yang semakin melebar beterbangan memenuhi ruang tunggu. I miss he verry much rasanya hari ini tak akan terganti, sunggu hati berdebar makin kencang, rasa ingin berteriak dan berlari. Senyum ini menemani setiap waktuku hingga sampai di Pekanbaru, love.
Love love love I miss you, aku berjalan terus menuju satu tempat saat ia melepas kepergianku dua tahun yang lalu. Dan kutemukan dia berdiri dan aku berlari menghampirinya dengan dua tangan terbuka, disambut dengan senyum olehnya.
" Hai Sas...," sapanya tak membiarkan kedua tanganku meraih tubuhnya untuk kupeluk.
"Hai Honey, miss you" sambutku dengan manja.
"Welcome home Sasy, and I just... thanks darling. Where we go now?" dengan hangat aku menarik kedua tangan Joni.
"Stop Sas! Aku mau kenalin kamu...."
Tiba-tiba seorang cewek yang duduk dibelakangnya berdiri dan menyapaku.
"Hei, aku Vina tunangan Joni."
 Aku tak percaya, aku tertawa keras walau hati mulai menangis dan menganggap semua ini canda. amu Joni menutup mulutku dengan undangan.
"Sasy aku beneran tunangan Vina, dan aku sengaja datang kesini untuk memberikan undangan pernikahan kami.
"Kita putus!"
"jadi kamu bukan datang untuk jemput aku?" tanyaku yang masih tak percaya tapi nyata ini.
"gak Sas, aku kesini buat ngasih undangan aku dan Vina ini, aku harap kamu datang"
Oh shit! Aku udah bilang sama Mang Ujang buat gak jemput.
"Sas, are you ok!?
"Yes, I'm fine! Sekarang bilang sama ku kalo ini fiktif dan aku akan jauh lebih baik."
"Hei Sas, kami itu udah mau nikah, undangan ini buktinya dan cincin ini tanda bahwa aku dan Joni udah tunangan." Jelas Vina.
"F*ck Vina!! Aku gak percaya kamu musuh dalam selimut, nusuk aku dari belakang. Undangan ini aku terima, Insyaallah aku bakal datang! Fine kita putus Joni, semoga kamu bahagia bersamanya. But 1, kalo dia bisa khianati aku sahabatnya dari 10 tahun lalu apalagi kamu yang baru kenal dia 2 tahun belakangan. Kalo ia maling walaupun udah berubah, orang tetap mengenalnya maling. Mungkin dia sudah berhasil curi hati kamu dan kesetiaan kamu dari aku, tapi asal kamu tau, gak ada satupun dari teman-temanku disana yang bisa gantikan sosok kamu dihatiku, meski mereka mencoba. Dan kamu Vina, kalo Joni bisa berpaling dariku saat aku jauh dan memilih kamu, gak menutup kemungkinan dia juga bisa berpaling dari kamu. Nice to meet you here, have nice day for you. joni, I can try to forget you. Remember me in your heart, forget me in your day. Tak ada laki-laki sebaik kamu dan tak ada sahabat se-the best kamu. Kalian berdua pelengkap hidupku yang sangat sempurna, semoga hidup bahagia awat sampe kekek nenek."
Aku tersenyum mengakhiri pertemuan itu. Masih berharap itu mimpi. ku-stop taksi dan pulang kerumah berharap terjaga dari air mata yang tak dapat kubendung. Berharap teman sekamar kos-an-ku membangunkanku bahwa hari telah siang namun tak seorangpun kecuali suara supir taksi yang memecah keheninganku.
"Sudah sampai, bu."
Aku masuk kerumah dengan senyum. Kuhapus air mata. Kusembunyikan tangisku. masih berharap ini mimpi, tapi pelukan ibu yang membuatku sesak napas menyadarkanku bahwa ini nyata. Aku kehilangan dia.
Akhir cinta bukan akhir segalanya, ada mimpi yang tetap harus aku raih bersamanya atau tidak. Mungkin aku kini tak lagi berdua namun terkadang sendiri juga tak buruk untuk melalui hari-hari.
Saat kudapat melangkah dan melupakan masa lalu, aku bertemu dengan Enda, he's handsome "cakep" dan dia teman sekantorku. Sejak bersamanya hari-hariku lebih baik. Mungkin Joni memang bukan jodohku.
Dan inilah jawaban dibalik air mata kesedihan, kehilangan Joni. Selalu ada bahagia setelah air mata.
Aku percaya rencana Allah itu Indah.

Thanks to Kaskus Emotions

Friday, December 14, 2012

Cerpen: Permainan Menarik

Oleh: Endang Firdaus

Aldi dan Danu bersahabat baik. Keduanya duduk dikelas yang sama. Mereka biasa bareng pergi ke sekolah. Mereka memiliki persamaan dalam banyak hal. Satu perbedaan mereka. Aldi sangat hebat dalam matematika, dan Danu sangat lemah. Danu sangat membenci pelajaran itu.
Suatu hari, Guru Matematika mengadakan tes. Aldi mendapat angka tertinggi. Sementara Danu tampak sangat pas-pasan. Hampir tidak lulus. Pulang sekolah Danu tampak terlihat murung.
"Kamu kenapa?" tanya Aldi. "Murung banget."
"Tidak apa-apa," sahut Danu. Aldi kembali mengajaknya bicara, namun Danu sedang tidak berselera bercakap-cakap.
"Kamu tampaknya sedang punya masalah. Aku punya satu permainan menarik yang bisa membuat hilang masalahmu. Kamu mau tahu?" tanya Aldi.
Danu mengernyitkan dahi. Ia rupanya tertarik dengan permainan menarik itu. Lalu diceritakannya masalah yang tengah dialaminya. Aldi mengangguk-angguk mendengarnya. Ia lalu menasihati Danu agar tak terlalu memikirkan hal itu. Katanya, untuk menguasai Matematika, Danu harus menyukai pelajaran itu dahulu.
"Sekarang, mari aku beri tahu permainan manarik itu," ucap Aldi kemudian.
Aldi mengeluarkan sebuah kalender kecil dari dalam tasnya. Kedua anak itu kemudian duduk di tepi jalan. Aldi menyuruh Danu membuat satu kotak di atas kalender. "Kotak itu harus meliputi 3 angkadibagian atas, 3 angka ditengah, dan 3 angka di bawah," kata Aldi.
Danu melakukan. Ia membuat kotak di tengah-tengah kalender. Kotak itu terdiri dari 9 angka. "Sudah", cetus Danu. "Sekarng tunjukkan hal yang menariknya."
"Aku bisa menjumlahkan ke 9 angka yang ada didalam kotak yang telah kamu buat tanpa melihat kalender," ucap Aldi. "Sebutkan angka terbesar di kotak itu."
"25"
"Jumlah ke 9 angka itu adalah 153," cetus Aldi. "Coba kamu jumlahkan."
Danu menjumlahkan ke 9 angka dalam kotak. Luar biasa! yagn dijumlahkan Aldi tadi tepat. Hasilnya tetap sama. "Hebat," Puji Danu.

"Bagaimana kamu menjumlahkannya tanpa melihat angka-angka ini, Di?"
"Mudah sekali. Kamu juga dapat melakukannya. Dengarkan, "kata Aldi. "Kotak yang kamu buat di kalender itu terdiri dari 9 angka. Angka yang terbesar adalah 25. 25 dikurang 8. Sisanya 17. 17 kemudian dikalikan 9. hasilnya 153."
danu mengangguk-angguk. Ia lalu mencoba melakukannya. Dibuatnya kotak kalender. Kotak itu terdiri dari 9 angka. Angka terbesar 17. 17 dikuranginya dengan 8. Sisa 9. 9 kemudian dikalikannya dengan 9. Hasilnya 81. danu kemudian menjumlahkan ke 9 angka dalam kotak satu persatu. Jumlahnya 81, sama seperti teori yang diajarkan oleh Aldi.
danu sangat menyukai permainan itu. Di rumah ia memperagakannya di depan ayah, ibu, dan adiknya. Ia lalu memberi tahu rahasianya. Sejak itu ia pun berusaha untuk menyukai Matematika. Ia tak ingin membencinya. *****

Wednesday, November 28, 2012

Cerpen: Misteri Sebuah Seruling

Oleh Lasma Hasianna Situmeang

"Kak Tika... bangun! Kak Tika tidak mendengar sesuatu?" aku membangunkan kakakku, Tika.

"Amel... jangan ganggu Kakak, dong. Kakak masih ngantuk, ini masih malam, masih jam dua belas".
"Iya... tapi coba dengar! Malam-malam begini, kok ada suara tangisan?" aku mencoba meyakinkan Kak Tika, dan kelihatannya ia sedang memasang kupingnya.
"Wah, benar, Mel! Kira-kira siapa yang nangis ya? Dan sepertinya ada suara seruling juga?" tanya Kak Tika lagi.
Aku mengangguk dan menjadi takut. Lingkungan di sekitar rumah Kakek, di Tarutung, tepatnya di Tapanuli Utara.
"Mel... mungkin ada anggota salah satu keluarga di sekitar rumah kakek yang meninggal dunia. Jadi kita harus membangunkan kakek," Kak Tika bicara penuh antusias.
"Aduh... sudah deh, lebih baik kita tidur aja lagi. Amel takut kak..." jawabku dengan sedikit merengek. Kak Tika mengerutkan dahi, sepertinya sedang berpikir keras.
"Ya sudah! Kalau kamu mau tidur, lanjutkan saja tidurmu. Kakak tak habis pikir, ada suara tangisan bersamaan dengan suara seruling. Pasti ada sesuatu dibalik semua ini, " Kak Tika membuka pintu kamar dan berjalan perlahan-lahan.Karena takut sendirian dikamar, aku mengikutinya. Kami mengendap-endap dan membuka pintu ruang tamu.
"Sepertinya suara tangisan tadi berasal dari tetangga sebelah. Tetapi suara seruling itu berasal dari tempat yang lain. Aku semakin penasaran," Kak Tika mengambil sebuah senter dikamar, dan kamipun mulai berjalan keluar rumah. Ternyata memang benar, suara itu berasal dari tetangga sebelah. Kak Tika memasuki perkarangan tetangga sebelah yang tidak berpagar. Suara itu begitu pilu. Setelah mengintip dari sela-sela pintu yang terbuat dari kayu, kami bisa melihat kalau yang menangis adalah Bu Anto. Dia menangis di ruang tamu, tapi tidak ada orang yang meninggal disekitarnya. Ia menangis sambil memegang bingkai. Kami berdua terheran-heran. Ada apa dengan Bu Anto?
"Mel, suara tangis itu ternyata bukan hanya dari rumah Bu Anto. Ada juga dibeberapa rumah lain. Tetapi suara seruling itu berasal cuma berasal dari satu sumber. Kalau begitu, lebih baik kita mencari sumber suara seruling itu."
Kami mulai berjalan melewati pohon-pohon besar. Desa ini memang masih banyak rawa-rawa, pohon-pohon bambu, dan pohon alpukat. Hanya dengan sebuah senter Kak Tika melangkahkan kakinya dengan mantap. Aku memengan tangannya dengan erat.
"Mel, sepertinya berasal dari rumah gubuk itu!" Kak Tika menarik tanganku kesebuah rumah panggung. Perlahan ia menaiki tangga itu dan mencoba mellihat dari sela-sela pintu kayu. Ternyata yang meniup seruling seorang anak lelaki.
Tok tok tok...
Kak Tika benar-benar nekat mengetuk pintu rumah itu. "Siapa itu?" tanya anak lelaki itu. Dia berjalan dan membukakan pintu. "Siapa kalian?" tanyanya dengan tatapan curiga.
"Kami cucu kakek Santos. Kami sedang liburan disini. Apa kami boleh masuk?" tanya Kak Tika ramah. Dia mengangguk. Anehnya sejak dia selesai memainkan serulingnya, suara tangis itu tidak terdengar lagi.
"Namaku Tika, aku kelas IV SD. Ini adikku, Amel, kelas II SD. Boleh kami tahu namamu?" tanya Kak Tika dengan hati-hati.
"Hm... namaku Joni, aku sekarang kelas IV SD. Sedang apa kalian malam-malam begini?" Joni mulai kelihatan ramah.
"Kami tak bisa tidur mendengar suara tangisan, dan suara seruling yang kedengarannya begitu menyanyat. Ada apa sebenarnya yang terjadi?" tanya Kak Tika.
Si Joni menundukkan kepala. Lalu mulai bercerita.
"Aku punya kakek yang sangat baik. Ia yang membuat seruling ini. Seruling ini tidak sembarangan dibuat. Setiap ada satu anggota keluarga di desa ini yang meniggal, Kakek membuat satu lubang pada bambu yang akan dijadikan seruling. Tiga tahun lalu ada dua anggota keluarga didesa ini yang meniggal dunia dalam waktu yang bersamaan. Kakekpun memberi dua lubang pada bambu ini..." Joni menarik napas. Lalu melanjutkan.
"Jadi... pembuatan ini cukup lama, karena jarang anggota keluarga yang meniggal. Kata Kakek, bambu ini akan dibuat delapan lubang. Tujuh lubang sejajar dan satu lagi dibelakangnya. Tapi beberapa bulan yang lalu kakek meninggal. Sebelum meniggal kakek berpesan kalau ia meniggal aku harus membuat lubang yang terakhir. Ia menyuruhku meniup seruling ini pada malam jumat. Jadi, bila seruling ini aku tiup, orang-orang yang telah kehilangan anggota keluarganya yang telah diberi tanda dengan lubang pada seruling ini, akan menangis pilu. Karena semua teringat pada orang-orang yang dicintainya termasuk aku. Sambil meniup seruling air mataku mengalir deras, teringat pada kakekku tercinta," Joni menyelesaikan ceritanya yang panjang.
"Wah... pantas Bu Anto menangis sambil memegangi bingkai. Mungkin itu foto anaknya yang meninggal." Tebakku.
Kami berdua lalu berpamitan pulang.
"Kami senang punya teman seperti kamu, Jon. Kami akan menceritakan kisah menarik ini buat teman kami di kota."
"Baiklah. Sampai jumpa, Tika, Amel..." Joni mengucapkan salam perpisahan. Kamipun bergegas pulang, khawatir jika kakek memeriksa kamar kami.***

Monday, November 19, 2012

Cerpen: Putri Kelinci dan Wortel Biru

Oleh Yogatriana

Putri Anggini sedang asyik bermain di taman istana. Ia matanya memandangi kupu-kupu yang hinggap di sekuntum mawar merah. Kupu-kupu itu sangat cantik. Putri Anggini mengendap untuk menangkapnya. Namun saat tangannya menyentuh sayap, kupu-kupu itu langsung terbang. Berkali-kali Putri Anggini mencoba, namun kupu-kupu itu selalu terbang dan hinggap di tempat lain.

Putri Anggini dengan semangat terus mengejarnya. Tanpa disadari ia sudah keluar dari wilayah istana dan tiba di tepi hutan. Tiba-tiba Putri melihat ada sesuatu menempel digaunnya. Ow, ternyata seekor ulat!
Putri Anggini menjerit dan berjingkrak-jingkrak. Kebetulan ia melihat sebatang sapu. Sapu siapa di pinggir hutan? Pikir Putri Anggini. Tapi, ia tak peduli lagi dan segera memukul ulat itu dengan sapu.
Setelah itu, Putri Anggini bergegas kembali ke istana. Ia menceritakan pengalamannya pada ayah ibunya. Namun, ketika Raja dan Ratu melirik sapu di tangan putrinya, keduanya sangat terkejut.
"Celaka, puteriku! Itu sapu milik Nenek Sihir!" seru Raja.
Belum hilang kekagetan mereka, tiba-tiba muncul seorang nenek menyeramkan. Tak salah lagi, itu Nenek Sihir! Sambil merebut sapunya nenek itu menggeram marah.
"Grrrmmm... Dasar anak nakal! Berani-beraninya kau mencuri sapu ajaibku. Kusihir kau. Hupsalabubsabumsasadieee! jadilah seekor kelinci!"
Putri Anggini yang malang kini berubah jadi seekor kelinci putih.
"Hehehe! Anakmu akan pulih kembali, bila memakan wortel biru!" tawa penyihir puas. Ia lalu terbang entah kemana.
Raja dan Ratu tak sempat berbuat apa-apa. Keduanya meraih anaknya yang sudah berubah wujud itu. Airmata mereka pun bercucuran. Putri Anggini pun menangis pilu saat tahu dirinya telah menjadi kelinci.
Raja segera mengadakan sayamebara. Bila ada yang bisa menemukan wortel biru, maka akan diberi hadiah emas berkarung-karung. Bila seorang pemuda, akan dinikahkan dengan Putri Anggini.
Pada suatu hari, tanpa ada yang tahu, Putri melompat-lompat keluar. Pergi ketamannya ketika sedang merenung dibawah pohon, datanglah seekor kucing. Putri Anggini ketakutan dan lari menjauh. Namun hatinya tambah ciut ketika ia dihadang oleh seekor anjing. Ia kembali sekuat tenaga. Untunglah ia bisa lolos. Tapi kini ia tersesat! Bayak pohon tinggi disekelilingnya juga terdengar suara binatang. Ternyata ia berada disebuah hutan!
Putri Anggini menangis sejadi-jadinya.
Siang berganti malam. Malam pergi berganti siang. Putri Anggini semakin tak tentu arah, tak tahu jalan pulang. Suatu sore Putri Anggini si Kelinci, sedang lahap-lahapnya makan rumput. Ia tak tahu kalau ada sepasang mata sedang mengawasinya. Dan sebuah busur panah siap diluncurkan.
Tiba-tiba putri merasa gelisah. Ia menengok kesana kemari. Terakhir matanya beradu tatap dengan sepasang mata.
Sejenak Putri tertegun! Ditengah hutan ada seorang pemuda gagah?! Namu... Oh, pemuda itu akan memanahnya. Putri gemetar ketakutan.
"Tolong, jangan bunuh aku! Tolonglah! Aku sebenarnya seorang Putri!" pintanya.
Tapi yang keluar dari mulutnya malah, "Ngiik... Ngiik!"
Untunglah pemuda itu megerti kalau kelinci ini jinak. Ia menurunkan panahnya dan mencoba menangkap putri.
Putri Anggini pasrah saja ketika pemuda itu membawanya pergi.
Ternyata pemuda itu seorang pangeran, bernama Pangeran Angga. Putri Anggini ditempatkan dibelakang istana. Pangeran Angga sangat menyayanginya. Ia bahkan memberi makan kelinci itu sendiri dan tidak menyuruh pengawalnya.
Setiap hari ia memberi kelinci jelmaan Putri Anggini wortel-wortel segar.
Namun, beberapa hari belakangan ini pangeran tak datang membawa makanan. Putri Anggini lemas menahan lapar. Ternyata diistana akan diadakan pesta ulang tahun sang Pangeran. Karena sibuk, Pangeran lupa pada kelincinya.
Begitu teringat pada kelincinya, Pangeran bergegas-gegas lari kedapur istana. Di sana ia mengambil beberapa batang wortel karena terburu-buru, kaki pangeran tersandung. Wortelnya meluncur dan tercemplung kedalam adonan kue, ketika diangkat warna wortel itu telah menjadi biru.
Putri Anggini sangat gembira saat Pangeran Angga datang. "Kelinciku sayang, maafkan aku, ya! Sekarang makanlah. Wortel ini tadi tercebur keadonan kue. Itu sebabnya jadi berwarna biru. Tapi enak kok karena ada gulanya," kata Pangeran Angga.

Tentu saja Putri Anggini tidak keberatan, dengan lahap dimakannya wortel-wortel biru itu sampai tandas.
Begitu habis... Whuss! Kelinci menghilang! Tring... Putri Anggini kembali menjadi gadis yang cantik jelita.
Pangeran sangat terkejut sekaligus terpesona. Putri Anggini menceritakan semua kejadian yang dialaminya.
Pangeran Angga lalu mengantar Putri Anggini pulang ke Negerinya. Betapa gembiranya Raja dan Ratu, orang tua Putri Anggini.
Raja menepati janjinya. Pangeran Angga dinikahkan dengan Putri Anggini.***

Sunday, October 7, 2012

Cerpen: Mama Berhati Emas

Oleh Ny. Widya Suwarna

Kadang Sinta suka berangan-angan. Alangkah menyenagkan bila punya mama seperti mamanya Ranti. Selalu rapi, bersepatu hak tinggi dan bekerja di kantor. Langsing, rambutnya sebahu, berombak rapi... Atau seperti tante Elsa, mamanya Inge yang bekerja di salon. Ia selalu tampil modis. Pakaian dan make-upnya serasi. Jemarinya indah dengan cat kuku yang berganti-ganti warna sesuai bajunya. Pokoknya kedua mama teman Sinta bagaikan ibu-ibu dalam sinetron.
Kalau mama Sinta, boro-boro pakai cat kuku. Sehari-hari memakai celana panjang dan kemeja. Tubuhnya gemuk pendek, dan rambutnya dipotong seperti laki-laki. Pagi-pagi ia naik sepeda ke pasar untuk membuka kios buah. Mama berdagang apel, jeruk, atau anggur. Kalau musim duku, ya berjualan duku juga.
Mama pakai lipstik dan rok hanya bila pergi ke pesta. Selaiknya papa Sinta selalu berkemeja lengan panjang, berdasi, dan mengendarai mobil dinas. Dalam hati kadang Sinta heran. Kok papa mau menikah dengan Mama? Bahkan sangat menyayangi Mama. Tiap pulang kerja Papa selalu menanyakan Mama
Hari ini Sinta pulang sekolah lebih cepat karena ada rapat guru. Tapi Sinta malas pulang, karena di rumah hanya ada Pak Usin, tukang yang sedang memperbaiki dapur. "Lebih baik aku ke pasar saja, ke kios Mama!" pikir Sinta.
Sinta jarang datang ke kios Mama. Kalau Sinta pulang sekolah, biasanya kios sudah tutup dan Mama pun sudah ada di rumah. Turun dari bis, Sinta masuk ke lorong pasar. Pasar mulai sepi. Pedagang-pedagang mulai mengantuk. Mama sedang memasukkan apel ke dalam dus. Di depan kios Mama dan pedanng pisang. Seorang anak laki-laki duduk dekat kios pisang sambil menggendong kotak semir sepatu. Pakaiannya kumal, kulitnya hitam.
"Ma, Sinta pulang cepat. Guru-guru rapat!" kata Sinta.
"Kalau begitu kita bisa pulang sama-sama!" kata Mama. "Tunggu sebentar, Mama beres-beres dulu!"
"Ma, anaknya ya. Kenalin, dong!" Tiba-tiba si penyemir sepatu bangkit dan mendekati kios Mama
"Sinta, ini Ujang. Ayo, kalian salaman!" kata Mama. Dengan segan Sinta mengulurkan tangannya. Dalam hati Sinta kurang senang. Apa-apaan si Ujang ini? Panggil mama Sinta seenaknya. Mama? Mama siapa?
"Pak Usin masih memperbaiki dapur. Mama tidak memasak hari ini. Kita makan ayam goreng saja, ya di depan sana!" kata Mama. Sinta mengangguk. Hatinya kembali senang, membayangkan ayam goreng, kentang goreng, puding.
"Ma, anaknya cantik. Asyik benar nih makan ayam goreng!" komentar si Ujang. Mama tertawa.
"Terimakasih, Ujang juga cakep. Ayo, ikut saja sekalian makan!" kata Mama. Sinta melihat mata Ujang berbinar-binar dan wajahnya berseri-seri.
"Benar nih, Ma. Boleh ajak si Dudung?" tanya Ujang penuh harap.
"Ya, ya, lekas ajak ke sini. Kalau terlambat, ditinggal, lho!" kata Mama.
Bagaikan anak panah lepas dari busurnya Ujang berlari, meninggalkan kotak semir sepatunya di lantai kios tukang pisang.
"Ma, kok anak itu panggil Mama, bukan Ibu atau Tante?" bisik Sinta heran.
"Biar saja. Ibunya ada di kampung. Tukang sayur, tukang ikan juga sering panggil Mama. Apalah artinya panggilan!"  jawab Mama.
"Ma, tidak malu bawa anak kumal ke restoran?" tanya Sinta lagi. Ia cemas kalau-kalau bertemu teman di restoran. Mama tersenyum dan menggeleng.
"Sinta, anak-anak itu juga manusia seperti kita. Cuma, mereka kurang beruntung. Lihatlah, betapa senag wajah Ujang karena diajak makan di restoran. Biarlah sekali-kali kita memberi sedikit kebahagiaan pada dia!" kata Mama.
Tepat ketika Mama mengunci kios dan mengeluarkan sepedanya, Ujang dan Dudung datang. Sinta menutup hidung karena kedua anak laki-laki itu bau terik matahari. Dudung memegang tamborin. Rupanya ia seorang pengamen.
"Ma, dapat rejeki, ya mau traktir kita? Ma, aku minta paha ayam, yah!" kata Dudung tanpa malu-malu. Mama cuma tersenyum, lalu menitipkan sepeda pada Pak Kirman, pedagang pisang.
"Ya, tinggal saja sepedanya di sini. Asal ada ongkos titipnya!" gurau Pak Kirman. Ujang dan Dudung juga menitipkan kotak semir sepatu dan tamborin.
Lagi-lagi Sinta terperanjat. Ah, Mama tidak takut sepedanya hilang. Mama begitu percaya pada Ujang dan Dudung.
Mereka berempat jalan ke luar pasar. Ketika Mama dan Sinta masuk ke restoran, ternyata Dudung dan Ujang belum masuk. Mereka bertemu dengan dua kawannya. Entah pengemis atau pengamen, Sinta tidah tahu.
Mama memesan makanan dan ketika kedua anak laki-laki itu masuk, Mama memberi isyarat agar mereka duduk. Kemudian Mama dan Sinta mengantarkan nampan-nampan yang berisi ayam goreng, nasi dan minuman ringan pada Dudung dan Ujang.
"Kalian cuci tangan dulu di sana," kata Mama. Orang-orang yang sedang makan memperhatikan Mama dan kedua anak laki-laki itu. Sinta merasa risih.
Sinta dan Mama kembali mengambil nampan untuk mereka sendiri. Dudung dan Ujang belum mulai makan, keduanya berbisik-bisik. Mama mendekati mereka.
"Ada apa?" tanya Mama.
"Ma, boleh tidak, satu nampan ini dibawa keluar untuk Oni dan Engkos? Nanti dikembalikan lagi. Aku dan Dudung paruhan saja! Kasihan Oni dan Engkos!" pinta Ujang.
Sinta terkesiap. Walaupun anak jalanan, ternyata Ujang punya rasa setia kawan yang besar. Ia dapat makanan enak, dan ia tidak tega menikmatinya sendiri sementara dua kawannya menonton dari balik kaca di luar.
"Ajak saja mereka kedalam. Mama akan pesankan lagi!" kata Mama.
"Tapi...jadi menyusahkan Mama, dong. Mama kan mesti bayar lagi!" kata Dudung dengan wajah prihatin.
"Oooh, uang Mama cukup kok! Hari ini memang Tuhan kasih rezeki pada kalian!" kata Mama. Wajah Mama berseri-seri dan untuk pertama kalinya Sinta bisa melihat bahwa sebetulnya Mama cantik.
Dudung dan Ujang pergi ke depan. Mama memesan makanan lagi untuk Engkos dan Oni. Sinta bangkit untuk menolong Mama membawakan nampan. Hati Sinta terharu. Mama demikian baik.
Ketika membayar di kasir, kasir berkata, "Ibu baik sekali. Jarang orang seperti Ibu. Mau memperhatikan anak-anak jalanan!"
"Ah, hanya ini yang mampu saya lakukan!" kata Mama tersipu-sipu.
Namun, dalam hati Sinta merasa bangga.
Kemudian mereka mulai makan. Keempat tamu makan dengan lahap. Setelah selesai, mereka mengucapkan terimakasih. Mama dan Sinta pulang naik bajaj. Ujang akan kembali ke pasar dan mengantar sepeda Mama. Ketiga anak lainnya mengemis dan mengamen di bis kota.
Sore hari, Sinta bercerita pada Papa tentang Mama.
"Sejak dulu memang mamamu dikenal berhati emas. Itulah sebabnya Papa menikah dengan Mama!" kata Papa dan ia menepuk-nempuk bahu mama.
Sinta tersenyum. Rasanya hangat mengalir di hatinya. Sekali lagi ia melihat Mama yang sedang tersenyum. Tampak cantik, walaupun tidak memakai lipstik dan berdandan modis. Mama Sinta yang berhati emas. Dan angan-angan Sinta ingin punya mama seperti mama orang lain terbang entah kemana. *****

Sunday, September 23, 2012

Cerpen: Sayembara yang Aneh

Oleh Widya Suwarna

Ya, ini memang bukan sayembara mengarang atau melukis. Sayembara yang aneh ini dilakukan oleh sebuah kerajaan. Masalahnya, Putri Astrid yang cantik itu ingin memiliki suami yang pandai. Jadi kerajaan itu mengadakan sayembara. Pemenangnya boleh menikah dengan sang putri.
Ada tiga hal yang harus dipenuhi para peserta. Pertama, Putri Astrid menginginkan bunga saruni hitam. Kedua, ia menginginkan sebuah buku yang tertera kalimat yang sama pada halaman pertama sampai pada halaman terakhir. Ketiga, ia menginginkan binatang buas yang tidak menakutkan.
Nah, apakah kira-kira ada di antara kalian yang bisa memenuhi ketiga hal tersebut?
Nah, sayembara sudah berlangsung selama dua minggu, namun tak seorang pun datang. Padahal, sayembara itu juga terbuka bagi orang-orang dari kerajaan lain.
"Sayembaramu terlalu berat," kata Raja pada putrinya.
"Tenang saja, Ayah. Saya yakin kok akan ada orang yang datang," kata Putri Astrid.
Benarlah, pada hari ketujuh belas datang dua orang pangeran, yaitu Pangeran Victor dan Pangeran Andrew. Keduanya membawa persyaratan yang diminta, walaupun bentuknya berbeda.
Pangeran Victor membawa bunga Seruni putih yang disemprot dengan cat hitam. Lalu buku tulis yang mulai halaman pertama sampai terakhir dituliskan kata-kata: Aku mencintaimu, Putri Astrid. Yang terakhir, dia memberikan bros emas berbentuk singa dan bertahtakan permata.
Pangeran Andrew membawa ukiran kayu berbentuk bunga seruni yang dicat hitam. Kemudian ia membawa buku nyanyian. Pada setiap halaman ada tulisan: Mari memuji Tuhan. Dan kemudia ia membawa anak harimau yang masih kecil, seperti kucing jinak saja.
Nah, ini malah merepotkan. Putrinya cuma seorang, sedangkan pemenang sayembara ada dua orang.
"Salah sau dari antara kalian harus mengalah, karena kalian sama-sama menang. Tak mungkin Putri Astrid menikah dengan kalian berdua sekaligus," kata Raja.
"Sebaiknya, diadakan sayembara lagi untuk menentukan pemenangnya," usul Pengeran Andrew.
"Ya, saya mendukung usulnya," kata Pengeran Victor.
"Baiklah, namun kami perlu mengadakan persiapan. Silahkan para pengeran yang terhormat bermalam dan bersenang-senang di istana kami yang sederhana. Besok baru kita lakukan sayembaranya," kata Raja.
Kemudian, Raja, Putri Astrid dan Perdana Menteri berunding.
"Kamu mau buat sayembara apa lagi?" tanya Raja pada Putri Astrid.
Putri Astrid tersenyum dan menggelengkan kepala. Ia tak menduga akan ada dua pangeran yang memenuhi syarat dan datang sekaligus pada hari yang sama. Kalaulah yang seorang lagi datang esok hari atau minggu depan, tentu tidak akan timbul masalah yang merepotkan ini.
"Maaf, Baginda. Kedua pangeran itu sama-sama pandai. Mungkin kita perlu mengadakan sayembara yang berkaitan dengan watak mereka supaya Putri Astrid bukan hanya mendapatkan suami yang pandai tetapi juga yang wataknya baik," usul Perdana Menteri.
"Terima Kasih. Itu usul yang sangat baik," kata Raja.
"Bagaimana bentuk sayembaranya?"
"Aku ada gagasan," kata Perdana Menteri. Dan ia pun menguraikan gagasannya. Raja dan Putri Astrid setuju.
"Itu untuk mengetahui siapa yang lebih mampu mengendalikan emosi. Bukankah begitu?" tanya Raja. Perdana Menteri mengangguk.
"Aku juga ada usul. Aku ingin tahu siapa yang berhati lembut atau kejam. Pertanyaan yang kuajukan adalah ini..." kata Putri Astrid.
Raja dan Perdana Menteri setuju. Jadi ada dua hal yang disayembarakan besok.
Keesokan harinya di ruangan sidang berkumpul pada kerabat istana dan pejabat-pejabat. Juga Pangeran Andrew dan Pangeran Victor sudah hadir. Kedua pengeran itu tampan dan gagah, cerdas, dan tampil meyakinkan.
Raja memberi tanda dan sayembara dimulai.
"Pertanyaannya: Apa yang akan kalian lakukan bila Putri Astrid ingin makan masakan yang dibuat dari daging bayi gajah?"
Pangeran Victor menjawab, "Aku akan menyuruh orang berburu bayi gajah di hutan. Lalu menyuruh kokiku yang terbaik untuk membuat masakan yang terlezat."
Hadirin bertepuk tangan mendengar jawaban yang lantang dan meyakinkan. Sekarang semua mata tertuju pada Pangeran Andrew.
Pangeran Andrew menjawab, "Maafkan, hamba tidak bisa memenuhi keinginan Sang Putri. Hamba tidak tega membunuh bayi gajah."
Hadirin bertepuk tangan. Baru saja tepuk tangan usai, muncul seorang pengawal dari ruang dalam. Ia mendekati Pangeran Andrew dan Pangeran Victor, menuding mereka berdua dan berkata, "Kalian, para pengeran kerajaan tidak tahu malu. Mengapa merusakkan lampu hias di kamar? Lampu itu lampu antik dan harganya sangat mahal."
Wajah Pangeran Victor merah padam. Ia menghunus pedangnya dan berkata, "Kurang ajar! Kamu hanya seorang pengawal, tapi kamu berani menuduh yang bukan-bukan. Aku bukan pencuri. Aku pangeran kerajaan yang terhormat. Mau rasakan pedangku?"
Pangeran Andrew mendekati si pengawal dan berkata, "Bapak, mari selesaikan masalah baik-baik. Setahu saya, tak ada lampu hias di kamar yang pecah. Mari kita lihat buktinya dan sudah itu kita bicara lagi. Mungkin telah terjadi salah paham."
Si pengawal berlutut di hadapan kedua pangeran dan berkata, "Maafkan hamba. Sekali lagi, hamba mohon maaf."
Hadirin bertepuk tangan. Kedua pangeran berpandangan dengan agak bingung dan akhirnya Pangeran Andrew berkata, "Oh, itu tadi sayembara yang kedua." Dan Pangeran Victor pun sangat terkejut serta menyadari kesalahannya.
Raja menjelaskan bahwa sayembara ini memang dimaksudkan untuk menguji watak kedua pangeran tersebut. Kedua pangeran memang tampan dan pandai. Akan tetapi, hati Pangeran Andrew lebih lembut dan ia lebih mampu mengendalikan emosi. Raja mengucapkan terimakasih dan mengumumkan bahwa Pangeran Andrew adalah pemenangnya dan berhak menikah dengan Putri Astrid. Demikianlah sayembara yang aneh itu telah selesai. ***