Didi punya kelereng baru, oleh-oleh dari sahabat sebangkunya yang berlibur ke luar negeri. Bagi Didi, kelereng itu adalah kelereng terbagus di antara semua kelereng yang pernah dilihatnya. Warnanya biru bening seperti permata. Saking sayangnya pada kelereng itu, Didi tak pernah memainkannya. Kelereng itu disimpan di laci meja belajarnya. Dan hanya diambil sesekali bila ia ingin mengamati keindahan warnanya.
Didi mempunyai seorang adik laki-laki yang berumur lima tahun. Namanya Lodi. Lodi ingin sekali meminjam kelereng itu, namun tak pernah dikabulkan Didi. “Sst... anak kecil nggak boleh pegang kelereng ini. Nanti rusak!” jawab Didi setiap kali Lodi merengek.
Suatu sore, Didi sibuk mengerjakan PR IPA. Lodi masuk ke kamarnya dan mulai merengek ingin meminjam kelereng itu. Didi pura-pura tidak mendengar permintaan adiknya. Akibatnya, Lodi mulai menangis menjerit-jerit.
“Wah, gawat kalau terdengar Ibu!” gerutu Didi. Karena kehabisan akal, Didi akhirnya berkata, “Kamu boleh pinjam kalau kelerengnya sudah sudah matang. Sekarang masih mentah!”
Ternyata Lodi mempercayai ucapan kakaknya. Ia langsung berhenti menjerit-jerit. “Kapan matangnya, Kak?” tanya Lodi gembira.
Didi terkejut. Tak disangka adiknya mudah dikelabui. Akhirnya Didi melanjutkan cerita bohongnya, “Ayah dan Ibu tak boleh tahu soal kelereng ini! Sekarang sedang diperam di laci. Tak boleh dilihat! Nanti kalau sudah matang, warnanya akan lebih bagus. Sangat cemerlang, bersinar seperti lampu. Kalau sudah matang, Lodi boleh pinjam sepuas hati,” jelas Didi dengan wajah serius.
Beberapa Minggu berlalu, Lodi mulai tidak sabar. Pada suatu siang, saat Didi sedang sibuk menyiapkan buku kursusnya, Lodi masuk ke kamar Didi.
“Lodi ingin lihat kelerengnya, Kak. Kan, sudah lama sekali diperamnya,” gerutu Lodi dengan wajah cemberut.
“Kelerengnya masih belum matang! Kalau sedang diperam, tidak boleh dilihat! Lacinya tidak boleh dibuka!” tukas Didi cepat. Ia takut Lodi nekat megambil kelerengnya.
“Tapi kenapa lama sekali? Bagaimana caranya supaya cepat matang? Tanya Lodi heran.
Didi tidak mengindahkan pertanyaan adiknya. “Pokoknya kelerengnya itu masih mentah, belum bersinar seperti lampu. Sekarang kakak mau kursus dulu, takut terlambat,” kilahnya sambil bergegas keluar kamar.
Lodi merasa tidak puas karena pertanyaannya belum dijawab. Ia akhirnya mencari Ibu di dapur. Ibu sedang asyik menimbang berbagai bahan untuk membuat kue.
“Asyik! Ibu mau buat kue apa? Lodi ikut, Bu,” seru Lodi gembira.
“Ibu mau buat kue kering Nastar. Nanti kalau semua bahan ini sudah digabungkan jadi satu adonan, Lodi bantu Ibu mengisinya dengan selai nanas, ya,” kata Ibu.
Lodi mengamati Ibu mengaduk tepung terigu, gula margarin, dan kuning telur. Setelah bahan-bahan itu tercampur rata, hasilnya berupa adonan liat berwarna kuning terang. Ibu mengambil adonan tersebut satu sendok makan, menaruh sedikit selai nanas di dalamnya, membentuk adonan seperti bola, kemudian meletakkannya di loyang.
Lodi meniru cara Ibu membentuk adonan. Ia berhasil membuatnya, walaupun sedikit benjol-benjol, tidak sebagus buatan ibu. Setelah membuat beberapa buah, ia mulai tergiur untuk mencicipinya. “Kelihatannya enak, Bu. Lodi boleh minta satu?” pinta Lodi.
“Tentu saja tidak boleh. Rasanya pasti tidak enak karena masih mentah. Supaya matang, harus dipanggang dulu di oven,” jawab ibu.
“Ooooh...jadi ini masih mentah. Supaya matang, harus dipanggang dulu di oven... Lodi mengerti sekarang!” Lodi mengangguk-angguk gembira dan langsung melesat pergi meninggalkan dapur.
Lodi masuk ke kamar Didi. Ia mengambil kelereng Didi dari dalam laci meja belajar. Diamatinya kelereng itu penuh kekaguman. “Warnanya bagus sekali. Seperti apa ya warnanya kalau sudah dipanggang? Pasti Kak Didi senang kalau Lodi bantu supaya kelereng ini cepat matang,” kata Lodi di dalam hati.
Lodi lalu balik ke dapur dan kembali membentuk adonan menjadi bola-bola. Tanpa sepengetahuan ibu, Lodi memasukkan kelereng Didi pada satu bola.
Ketika Didi pulang dari kursus Inggris, Lodi berlari-lari menyambutnya dengan ceria. “Kak, Lodi tadi bantu ibu buat kue Nastar. Tadi ada satu kue yang tidak di isi dengan selai nanas. Lodi isi dengan kelereng Kakak yang bagus itu. Ikut dipanggang supaya cepat matang,” cerita Lodi dengan bangga.
Didi sangat terkejut. Ia melempar tasnya sembarangan lalu berlari menuju dapur. Harum kue kering Nastar menyambutnya. Dilihatnya Ibu sedang mengeluarkan dua buah loyang dari oven.
“Mana kue buatan Lodi?” teriak Didi dengan wajah pucat pasi.
“Ini. Baru matang, masih hangat. Ada apa, Didi?” tanya ibu heran sambil menunjuk sebuah loyang berisi belasan kue kering Nastar yang bentuknya benjol-benjol.
“Dimana kamu?” keluh Didi lemas. Ia kebingungan, tak tahu di dalam kue yang mana kelerengnya “bersembunyi”. Sesaat kemudian diambilnya sebuah sendok. “Aduh, gara-gara berbohong, akibatnya begini. Pasti rusak. Pasti warnanya jadi jelek. Dimana kamu?” keluhnya berulang-ulang sambil memukuli kue kering buatan Lodi satu persatu sampai hancur. Didi menyesal sekali telah berbohong. Sementara itu, ibu dan Lodi tercengang keheranan melihat tingkah Didi...
mantap gan, smakin maju blog nyaa
ReplyDeletegantian kunjung donk, wkwkwkwkwk